Jumat, 06 Mei 2011

tugas 2

Tugas 2
1. Teori Strategi Pembangunan


Pembangunan merupakan konsep normatif yang mengisyaratkan pilihan-pilihan tujuan untuk mencapai apa yang disebut sebagai realisasi potensi manusia. Pembangunan tidak sama maknanya dengan modernisasi, jika kita memahami secara jelas mengenai makna sesungguhnya dari hakikat pembangunan itu sendiri. Dalam Economic Development in THe Third, mengatakan pembangunan adalah usaha meningkatkan harkat martabat masyarakat yang dalam kondisinya tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
A. Membangun masyarakat berarti memampukan atau memandirikan mereka. Dimulainya proses pembangunan dengan berpijak pada pembangunan masyarakat, diharapkan akan dapat memacu partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan itu sendiri.

Menurut Tjokrowinoto (1997), batasan pembangunan yang nampaknya bebas dari kaitan tata nilai tersebut dalam realitasnya menimbulkan interpretasi-interpretasi yang seringkali secara diametrik bertentangan satu sama lain jehingga mudah menimbulkan kesan bahwa realitas pembangunan pada hakikatnya merupakan self project reality. Sumber perbedaan pendapat ini pun bermacam-macam, mulai dari perbedaan dalam perspektif epistemologik-ontologik pada tingkat filsafat, sampai pada perbedaan penilaian atas definisi pembangunan sebagaimana diwujudkan pembangunan itu sendiri dalam konteks empirik. Teori pembangunan ke dalam tiga kategori baser yaitu teori modernisasi, dependensi dan paska dependensi. Teori modernisasi menekankan pada faktor manusia dan budayanya yang dinilai sebagai elemen fundamental dalam proses pembangunan. Kategori ini dipelopori orang-orang seperti:
a. Harrod-Domar dengan konsep tabungan dan investasi (saving and invest at ion)
b. Weber dengan tesis etika protestan dan semangat kapitalisme (the protestant ethic and the spirit of capitalism)
c. McClelland dengan konsep kebutuhan berprestasi (need for achievement, n-ach)
d. Rostow dengan lima tahap pertumbuhan ekonomi (the five stage of economic growth)
e. Inkeles dan Smith dengan konsep manusia modern, serta
f. Hoselitz dengan konsep faktor-faktor non-ekonominya.

2. Kebijakan Pembangunan Nasional
Pembangunan di Indonesia senantiasa diarahkan agar perekonomian Indonesia mengalami akselerasi pertumbuhan yang tinggi, baik pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) maupun Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II). Pemerintah Indonesia berpedoman bahwa persoalan pertumbuhan ekonomi adalah masalah ekonomi jangka panjang, sehingga mesti diletakkan dalam setiap kerangka pembangunan jangka panjang. Jangka waktu yang relatif lama (20-25 tahun) tersebut dipergunakan untuk mengukur berapa sebenamya capaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang telah diraih. Pada PJP I misalnya, pertumbuhan ekonomi direncanakan mengalami peningkatan secara bertahap pada kisaran 6,2% per tahun. Pada PJP II, pertumbuhan ekonomi yang diharapkan meningkat 7,3%. Sasarannya adalah peningkatan pendapatan per kapita $ 2600 pada akhir PJP II (RPJ Nasional 2005-2025).
3. Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah dalam Perspektif Otonomi
Kebijakan otonomi daerah berakar dari konsep ten-tang desentralisasi, yakni pelimpahan sebagian wewenang yang dimiliki pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Konsep desentralisasi sendiri merupakan kebalikan dari sistem sentralisasi di mana seluruh kewenangan dikuasai oleh pemerintah pusat. Kaho (1998) menyatakan bahwa desentralisasi adalah suatu sistem dalam mana bagian dari tugas-tugas negara diserahkan penyelenggaraannya kepada organ atau institusi yang mandiri. Institusi ini berkewajiban untuk melaksanakan wewenang seusai dengan kehendak dan inisiatif programnya sendiri.
Perspektif politik desentralisasi {political decentralization perspective) seperti fokus studi dari Mawhood (1987), Goldberg (1996), Kingsley (1996), Sherwood (1994), Rondinelli (1998) dan banyak pakar lain merupakan kontribusi atas perkembangan pemerintahan modern yang bersifat devolutif. Secara prinsip dikemukakan bahwa desentralisasi adalah devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah {the devolution of power from central to local government) (Putra, 2004).
4. Paradigma Baru Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah
Menurut Kuncoro (2004), teori pembangunan yang ada selama ini memang belum berhasil mengupas secara tuntas mengenai kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi yang ada di daerah. Karena itulah sangat penting untuk melakukan perumusan ulang paradigma baru perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang iebih komprehensif diperlukan suatu sintesis di antara berbagai pendekatan yang ada sehingga bisa dihasilkan rumusan baru tentang paradigma baru pembangunan ekonomi di daerah secara lebih tepat.
Paradigma baru pembangunan ekonomi daerah mengandaikan pembangunan yang ada di daerah mencakup hal berikut:
a. Pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan potensi daerah bersangkutan, serta kebutuhan dan kemampuan daerah menjalankan pembangunan.
b. Pembangunan daerah tidak hanya terkait dengan sektor ekonomi semata melainkan keberhasilannya juga terkait dengan faktor lainnya seperti social, politik, hukum, budaya, birokrasi dan lainnya.
c. Pembangunan dilakukan secara bertahap sesuai dengan Skala prioritas dan yang memiliki pengaruh untuk menggerakkan sektor lainnya secara lebih cepat.
Dalam pemahaman Hirschman, pembangunan memerlukan prioritas, pilihan lokasi, individu maupun sektor strategis yang juga punya efek forward dan backward. Hirschman (1958) mengemukakan bahwa di daerah miskin banyak kendala yang dihadapi setiap sektor untuk melaksanakan strategi kebijakan pertumbuhan berimbang {balance growth). Hal tersebut akan mempersulit pelaksanaan dari strategi kebijakan pertumbuhan berimbang. Hirschman menyatakan strategi kebijakan yangpaling tepat adalah strategi kebijakan pertumbuhan tidak berimbang. Karma itu dalam analisis backward linkage dan forward linkage, strategi kebijakan pertumbuhan tidak berimbang mengakui adanya komplementasi antar sektor melalui hubungan permintaan output dan penawaran input. Hirschman membedakan kedua kaitan antar sektor tersebut sebagai forward linkage dan backward linkage. Forward linkage adalah kaitan antar sektor ke arah permintaan output dan backward linkage adalah kaitan antar sektor ke arah penawaran input.
Di era otonomi, pembangunan ekonomi haruslah dilakukan secara serentak pada setiap sektor, walaupun menurut Hirschman (Todaro, 1985), bahwa untuk negara (daerah) berkembang pembangunan ekonomi tidak dilakukan secara serentak {unbalanced growth) yaitu dengan menetapkan sektor unggulan, dimana sektor unggulan ini akan berimplikasi ke depan {forward linkages) dan hubungan ke belakang (backward linkages). Pemerintah haras memberikan kejelasan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi yang akan dicapai sesuai dengan kehendak masyarakat daerah, karma masyarakat itu sendirilah yang lebih mengetahui sektor ekonomi mana yang perlu ditingkatkan, dikembangkan, dipertahankan, sesuai dengan sosio-kultur daerah tersebut.
PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN
Kalau pada model awal pembangunan yang ditekankan adalah perlunya kapitalisasi, kemudian dalam model distribusi sosial muncul kesadaran akan keadaan marginalitas yang dihasilkan oleh konsep pembangunan dengan arti pertumbuhan, maka kemudian tampil sejumlah pengulas teori pembangunan – terutama yang berasal dari negara berkembang sendiri, seperti Amerika Latin – yang meninjaunya dari sudut tekanan historis mengenai hubungan antara negara maju dengan negara terbelakang. Bagi kelompok analis ini, yang menjadi masalah utama yang sebenarnya bukan terletak pada kuantitas pertumbuhan ekonomi (seperti yang diukur dengan persentase tingkat pertumbuhan per tahun), ataupun pada kualitas pertumbuhan sosial, melainkan pada kualitas dari proses pencapaian pertumbuhan itu sendiri.
Pandangan ini tetap mengakui pentingnya pembangunan ekonomi dan sosial, namun menurut mereka persoalan kunci adalah: siapa yang mengendalikan pembangunan? Apakah negara-negara yang sedang membangun itu merupakan objek pembangunan – kendali tujuan berada di tangan seseorang di luar mereka – atau mereka merupakan subjek pembangunan – yakni mengendalikan sendiri tujuan mereka itu? Dalam menjawab pertanyaan inilah kemudian muncul teori-teori dependensi (ketergantungan) dan teori keterbelakangan {underdevelopment).
Teori Dependensi
Menurut Servaes (1986) teori-teori dependensi dan keterbelakangan lahir ftftegai hasil “revolusi intefektuai” secara umum pada pertengahon tahun 60-an sebagai tantangan para ilmuwan Amerika Latin terhadap pandangan Barat mengenai pembangunan. Meskipun paradigma dependensi dapat dikatakan asli Amerika Latin, namun “bapak pendiri” perspektif ini adalah Baran, yang bersama Magdoff dan Sweezy merupakan juru bicara kelompok North American Monthly Review.
Frank (1972) menolak anggapan yang umum bahwa pembangunan akan terjadi menggantikan tahap kapitalis, dan bahwa negara-negara yang terbelakang sekarang ini masih dalam suatu tahap, yang kadang-kadang digambarkan sebagai suatu tahap sejarah yang orisinal, melalui manginegara-negara yang sekarang sudah maju, telah melewatinya di masa silam, Secara garis besar, yang dimaksud dengan dependensi adalah, suatu keadaan di mana keputusan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar negara yang bersangkutan.
Strategi Baru Pembangunan
Sejumlah pemikir pembangunan (kebanyakan para ekonom) telah berkumpul pada Pertemuan Houston tahun 1977 untuk menjajagi suatu “strategi baru pembangunan” (Hill, 1979). Dalam pertemuan itu, teori tinggal landas Rostow, atau tabungan dan industrialisasi dari Nurkse telah dikritik oleh Seers, Streeten, Cardoso, dan Hirschman.
Pandangan Streeten tentang strategi baru bagi masa depan pembangunan merupakan ringkasan dan pemikiran-pemikiran koleganya, yakni penegasan mengenai:
a. pendekatan kebutuhan dasar untuk mayoritas kaum miskin melalui peningkatan pelayanan social,
b. penekanan pada distribusi pertumbuhan sebagai indikator pembangunan;
c. pertanian sebagai sektor prioritas ekonomi dan pemberian kredit, informasi, inputs, dan infrastruktur pasar bagi kaum miskin;
d. teknologi padat karya dan tepatguna lainnya;
e. penekanan pada aspek sosial dan politik sekaligus ekonomi dari pembangunan.
la berkesimpulan bahwa pelajaran dari 25 tahun pemikiran pembangunan menunjukkan baik ide-ide besar Keynes maupun penekanan Marx pada kepentingan ekonomi kalangan elit yang berkuasa, telah tidak memadai dalam menjelaskan masalah kompleksitas dan kontradiksi pembangunan.
2. Strategi Pembangunan Indonesia

Strategi pembangunan indonesia
Hingar bingar pemilu presiden (pilpres) telah berangsur senyap. Tanggal 8 Juli 2009 seakan menjadi muara dari perjalanan panjang para calon presiden (capres). Jika tidak ada kejadian yang luar biasa kemungkinan besar kita akan mendapati SBY untuk kembali menjabat menjadi presiden RI. Dalam pilpres kali ini, banyak cerita yang telah bertempat tetapi hanya satu yang pasti terekam benar dalam benak publik yaitu janji-janji kampanye.
Dalam setiap kampanyenya, para capres selalu menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu jualan utamanya. Pertumbuhan ekonomi pun ditarget mulai dari yang sulit hingga berat ditakar nalar. Terlepas dari irasionalitas dalam penentuan target pertumbuhan ekonomi, konsensus para capres untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama merupakan sebuah perilaku yang obsolit. Para capres seakan kikir dalam berfikir sehingga khilaf dalam menentukan tujuan dan sarana. Oleh karenanya, menarik untuk dikaji apakah pertumbuhan ekonomi merupakan tujuan atau sarana demi menggapai sesuatu yang sifatnya lebih fundamental.

Tujuan dan Sarana Pembangunan
Amartya sen, dalam bukunya yang fenomenal berjudul Development as Freedom, dari jauh hari telah mengingatkan para penguasa bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa semata-mata ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Lebih lanjut, Sen memberi saran untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah jalan bagi pemerintah dalam meningkatkan fungsi pelayanan sosial kepada masyarakat. Subsidi pendidikan, kesehatan, dan jaring pengaman sosial sudah semestinya mendapat porsi utama dalam rencana jangka panjang pemerintah sebab dengan fungsi-fungsi inilah pembangunan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan dapat dicapai.
Dalam hal fungsi pelayanan sosial, khususnya pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar, Jepang merupakan sebuah negara yang dapat dijadikan rujukan utama. Sejak zaman restorasi Meiji, rerata melek huruf di Negara ini telah melebihi bangsa-bangsa di Eropa meskipun pada zaman tersebut, Jepang masih tertinggal jauh dari Eropa dalam proses industralisasi. Berbekal pendidikan yang memadai, Jepang dalam waktu yang tidak begitu lama telah mampu mengejar ketertinggalannya dari Eropa. Kualiatas sumber daya manusia ditenggarai sebagai sumber utama yang pada gilirannya mengakselerasi pembangunan ekonomi Jepang. Dalam konteks ini, social opportunities merupakan kunci dari sustainabilitas pertumbuhan ekonomi. Visi jangka panjang dari pembangunan ekonomi Indonesia sudah semestinya berfokus pada perluasan akses dan kesempatan masyarakat terhadap pelbagai fasilitas ekonomi.

Konsensus Washington
Tujuan-tujuan ini sebenarnya telah terangkum dalam Konsensus Washington melalui beberapa poinnya. Poin pertama adalah melalui disiplin fiskal dimana hal ini merupakan syarat utama dari sustainabilitas Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Sudah merupakan rahasia umum bahwa APBN merupakan alat diskresi pemerintah yang paling ampuh, oleh karenanya dengan sistem money follow function, APBN dapat menopang laju pertumbuhan ekonomi. Celakanya, semangat dari masing-masing departemen adalah menaikkan rencana anggaran pada setiap tahun fiskal, hal ini pada gilirannya membuat APBN tidak prudent dan rentan terhadap shock eksternal. Asumsi disiplin fiskal juga merupakan fondasi demi menjalankan poin kedua dalam Konsensus Washington yaitu memfokuskan belanja pemerintah terhadap sektor-sektor yang dapat meratakan distribusi pendapatan masyarakat seperti penyediaan infrastruktur publik, subsidi kesehatan dan pendidikan.
Pemenuhan akses publik ini tentunya dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat secara umum. Poin berikutnya yang tak kalah penting adalah reformasi sistem perpajakan. Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang baru tampaknya sudah mengakomodir poin ini, dimana satu hal yang paling fenomenal adalah mengenai perluasan basis pajak. Keberhasilan reformasi pajak tentu akan berkontribusi terhadap penerimaan Negara dimana seperti yang sudah kita ketahui bersama, peranan pajak hampir menyentuh 80 persen dari total penerimaan Negara. Hal ini pada gilirannya dapat diredistribusikan kepada sektor-sektor yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti yang telah dijabarkan sebelumnya.
Beberapa poin penting lainnya adalah mengenai liberalisasi dan privatisasi. Liberalisasi yang dimaksud mencakup perdagangan, suku bunga dan investasi asing. Dalam formulasi pertumbuhan ekonomi, perdagangan memegang peranan utama. Ekspor dalam hal ini merupakan mesin dari pertumbuhan ekonomi. Ekspor yang berkesinambungan lajunya ternyata tak lepas pula dari sokongan investasi asing. Investasi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional merupakan salah satu faktor penggerak ekspor Indonesia (Urata, 2009). Lebih lanjut, kepemilikan asing melalui jalan privatisasi telah mengenyahkan ketidakefisienan kerja dalam perusahaan bentukan pemerintah. Maraknya kepemilikan asing dewasa ini merupakan sebuah hal yang tidak perlu ditakutkan, karena kepemilikan asing bukan berarti asing memiliki seratus persen dari badan-badan usaha milik pemerintah, mayoritas kepemilikan tetap berada di tangan pemerintah.
Berkaitan dengan hal ini, UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) telah menjadi payung hukum yang memadai. Tujuan penanaman modal, seperti yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat 2 UU PM, adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Dalam hal mencapai tujuan-tujuan tersebut, UU PM didukung beberapa pasal seperti pada pasal 10 ayat 1 yang mewajibkan para perusahaan penanam modal untuk mengutamakan tenaga kerja yang merupakan warga negara Indonesia atau pada pasal 13 ayat 1 dan 2 mengenai pengembangan penanam modal bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi yang merupakan penyokong utama bagi penciptaan kesejahteraan rakyat serta penopang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Hal yang setali tiga uang dapat kita lihat pada pasal 18 ayat 3 mengenai fasilitas penanaman modal. Pasal ini mensyaratkan bahwa penanaman modal yang diberikan fasilitas harus memenuhi beberapa kriteria dimana salah satunya adalah banyak menyerap tenaga kerja.

Beberapa syarat dan tantangan
Beberapa poin dalam Konsensus Washington tentu tidak akan berjalan tanpa adanya beberapa syarat pendukung yang didaulat Dani Rodrik semisal tata kelola pemerintahan yang baik, kebijakan anti korupsi yang ajeg, bank sentral yang independen, sistem jaring pengaman sosial yang memadai, dan target pengurangan angka kemiskinan yang konkrit.
Meskipun demikian, masyarakat tampaknya masih phobia terhadap Konsensus Washington. Stigma buruk sudah terlanjur melekat didalam memori. Para penggiat konsensus Washington seringkali di cap neoliberal dan menjadi target cemoohan masyarakat. Sebuah doktrin keliru telah terjadi, dan celakanya doktrin ini semakin kuat berhembus hingga akhirnya dijadikan para politikus demi menjatuhkan para lawannya. Jika boleh, mari kita berharap pemerintahan mendatang akan berpikir rasional dan jauh dari sikap kerdil.

3. Rencana Pembangunan Indonesia


Gambaran yang lebih jelas tentang arah yang dituju dalam pembangunan Indonesia dapat dibaca dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Dalam RPJPN tersebut telah ditetapkan bahwa visi pembangunan adalah “Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur”. “Mandiri” artinya mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. “Maju” dapat diukur dari kualitas SDM, tingkat kemakmuran, kemantapan sistem dan kelembagaan politik dan hukum. Sedangkan “Adil” dicerminkan oleh tidak adanya diskrimasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender, maupun wilayah. Sementara “Makmur” dapat diukur dari tingkat pemenuhan seluruh kebutuhan hidup.
Di berbagai negara, seperti Cina, tingkat kemakmuran bisa dikelompokkan menjadi 4, yang indikatornya adalah rasio pengeluaran untuk makanan dari total pengeluaran. Apabila rasio pengeluaran untuk makanan diatas 60% dari total pengeluaran, maka komunitas tersebut tergolong “miskin”. Apabila rasionya antara 50% - 60% dari total pengeluaran, maka komunitas tersebut tergolong “hampir miskin” atau “hanya cukup makan dan pakaian”. Apabila rasionya antara 40% - 50%, maka komunitas tersebut tergolong “relatif makmur”. Sedangkan bila rasionya sudah dibawah 60% dari total pengeluaran, maka komunitas tersebut tergolong “makmur”. Mengacu kepada tolok ukur diatas, sebenarnya masing-masing kita dapat mengira-ngira sendiri termasuk golongan yang mana.
Sebagai informasi, rasio mengeluaran penduduk Cina untuk makanan dari total pengeluaran pada tahun 1978 adalah 57,5% di pedesaan dan 67,7% di perkotaan. Angka tersebut turun menjadi 43,0% di pedesaan dan 35,8% di perkotaan pada tahun 2006 (Bahan Seminar on Economic Administration for Asian Countries, 2008). Artinya penduduk Cina di pedesaan pada saat ini telah relatif makmur, dan di perkotaan sudah makmur.
Selanjutnya, bagaimana di Indonesia ? Dalam RPJPN 2005 – 2025 juga telah ditetapkan misi pembangunan sebagai berikut :
1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
2. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum.
4. Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu.
5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan.
6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.
7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.


Untuk mencapai misi tersebut, telah ditetapkan pula 4 tahapan pembangunannya, yaitu :
1. Dalam RPJMN 1 (2005 – 2009) dilakukan penataan kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
2. RPJMN 2 (2010 – 2014) ditujukan untuk memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan iptek, dan memperkuat da

Tidak ada komentar:

Posting Komentar